Sekolah Hijau – Melatih Generasi Bangsa untuk Mandiri dan Memiliki Resiliensi


Ave Fauzisar-31 Desember 2021

Jatuhnya kita kemarin akibat Covid-19, setidaknya membuat dua tahun sulit secara ekonomi, pendidikan, bahkan kehidupan privat bagi banyak orang di seluruh dunia. Banyak usaha yang bangkrut, sekolah yang jatuh miskin, hingga keluarga yang hancur. Perceraian di mana-mana. Membuat kita khawatir akan nasib anak-anak generasi penerus.

Setidaknya, harus diambil pelajaran bahwa dari pandemi kita belajar bahwa banyak masalah kesehatan, kemanusiaan, lingkungan, hingga pendidikan kini sudah melampaui batas-batas negara dan benua. Masalah penularan virus yang cepat misalnya, harus diatasi dengan banyak screening dan larangan masuk ke negara-negara zona merah. Begitupun kenaikan rata-rata temperatur dan kenaikan muka air laut, juga menjadi masalah bersama negara-negara kepulauan. Tak terkecuali masalah pendidikan, sosio-kultural dan pengendalian penggunaan internet dan VPN-nya untuk membatasi konten dewasa, menjadi kekhawatiran bersama sehingga tidak dapat hanya diselesaikan dengan konteks geografis tertentu.   

Semuanya kedepan nampaknya harus diselesiakan dengan kolaborasi dan partisipasi aktif serta komitmen yang kuat antara pemimpin-pemimpin negara, akademisi dan masyarakatnya. Terutama tentang persoalan Pendidikan. Seperti apa pengalaman belajar yang generasi penerus seharusnya dapatkan? Dan seterusnya. Bahasan ini akan dikupas oleh penulis pada beberapa uraian.

Pendidikan, utamanya di Indonesia, mengalami transformasi yang radikal yang mengakibatkan para pendidik, tidak terkecuali yang muda, ikut tergagap-gagap dengan laju digitalisasi pendidikan yang menjadi keharusan di mana-mana. Pembelajaran hampir semuanya dikerjakan dalam jaringan (daring), pengujian juga daring, hasil belajar juga daring. Hingga pembinaan, bimbingan dan karir oleh Guru BK, misalnya, kini pun sudah wajar dilakukan dengan daring melalui layar smartphone atau laptop.

Hal ini tentu saja sedikit banyak menjadikan banyak pengelola sekolah menjadi sakit kepala memikirkan perlunya investasi sistem informasi pengeloalan data daring, LMS (Learning Management System), hingga proses daring Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Di sisi mata uang yang lain, simplified education system (pendidikan yang disederhanakan) ini menjadi angin segar bagi kelompok “hijau”. Yakni pejuang lingkungan yang banyak dari mereka tergabung dalam NGO (non Governmental Organization), organisasi non-profit seperti Sustanation, GreenPeace, WWF dan lain sebagainya. Dimana mereka menjunjung tinggi keberlanjutan ekosistem dan pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, serta efisensi dalam penggunaan sumber daya alam.

Segala proses pendidikan yang daring berarti lebih sedikit kertas, tinta, spidol/pena plastic, jajanan dengan bungkus plastic, lebih sedikit limbah sekolah yang dihasilkan, lebih sedikit sampah yang tidak dikelola hingga mencemari sungai, laut dan air tanah.

Begitu pula berkurangnya kendaraan yang mengantarkan siswa ke kelas, guru, pegawai dan ibu kantin ke sekolah. Lebih sedikit pula jejak polusi ke lingkungan kita. Namun, di sudut pandang lainnya juga tidak boleh kita menjadi naïve bahwa konsumsi listrik yang sebagian besar adalah dari pembakaran batu bara dan bahan fosil tak ramah lingkungan, juga naik dramatis. Konsumsi harian di rumah, termasuk plastik sekali pakai, juga pasti telah naik. Sehingga semuanya harus dilihat dari gambaran yang lebih besar, serta seyogyanya harus ditimbang-timbang dari segi trade off-nya. 

Sekolah Hijau adalah hal penting yang akan melatih kemandirian dan menjadi harga yang pantas dibayar untuk kebermanfaatan yang lebih luas.

Istilah sekolah hijau, secara istilah, sebetulnya lebih luas dari sekedar bahasa hijau, rindang, asri dan sejenisnya. Jika merujuk pada gagasan dibutuhkannya sekolah hijau di Indonesia, semuanya bersandar pada kesadaran dan pikiran bahwa sekolah sangat tepat dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan dan menumbuhkan kecintaan terhadap kelestarian lingkungan dan alamnya.

Lembaga Pendidikan dianggap paling mampu untuk memberi wawasan hijau sejak dini kepada generasi penerus, membangun sikap dan pola pikir, serta melatihnya menjadi agen perubahan. Karena mendidik dan mengatur yang sudah tua, dalam konteks pelesatarian lingkungan, adalah pekerjaan yang lebih sulit dan membutuhkan dana yang lebih besar untuk membuatkan aturannya, monitoring, dan penegakan aturannya. Walaupun dalam jangka panjang, harus juga diinvestasikan waktu dan nilai kapitalnya.

Versi lebih murahnya, dalam buku Panduan Sekolah Hijau oleh Direktorat SMK Kemendikbud (2020), disebutkan bahwa membangun sekolah hijau, untuk membangun budaya masyarakat dan mengingatkan generasi tua, harus berangkat dari semua stakeholder yang ada di sekolah dengan empat hal yang menjadi syaratnya, yaitu pengetahuan hijau (green cognitive), sikap hijau (green affective), keterampilan hijau dan lingkungan/sarana prasarana pendukung yang hijau (green environment).

Syarat-syarat di atas diterjemahkan dengan suatu konsep holistic yang mencakup perencanaan, pengelolaan fasilitas sanitasi, kantin sehat sekolah, kegiatan 3-R (reuse, reduce & recycle), pemilahan dan pengolahan sampah, upcycling, hingga campurnya unsur kewirausahaan untuk pemasaran produk dan kemandirian produksi sayuran atau protein dan makanan.

Memiliki wawasan dan sikap hijau juga cukup krusial mengingat amanah yang dibebankan pada kita sebagai khalifah, pengurus atau wakil tuhan, Sang Khaliq, untuk mengurus dan melesatarikan potensi baik dunia ini dan menjauhkannya dari kerusakan dan pertikaian seperti diwahyukan Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 30:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ – ٣٠

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Rasul Allah, Muhammad, juga memberikan keteladanan dengan kesederhanaan gaya hidup luar biasa. Dalam kitab sirah nabawiyah, Nabi membuat Umar bin Khattab menangis karena sosok pemimpin negara dan agamanya waktu itu, yang sudah pasti kaya harta, tetap bersikap minimalis dan tidak berlebihan. Bahkan beliau hanya tidur di atas tikar yang lusuh dan tikar itu membekas di punggung kekasih Allah, manusia terbaik di muka bumi itu.

Tidak kurang juga sahabat Rasul, Abudzar Al Ghifari yaitu saudagar dari bani Ghifar, hanya memiliki dua setel pakaian di musim subtropis itu. Satu untuk dipakainya sehari-hari dan satu untuk dipakai pada hari Jumat. Sungguh keteladanan yang luar biasa yang juga menunjukkan kesadaran akan jejak lingkungan, menghindari foya-foya, dan keyakinan akan dimintainya pertangung jawaban dari segala possession (kepemilikan) yang dipunyai manusia.

Cerita nyata di atas juga menyadarkan kita pada akar masalah lingkungan yaitu pertumbuhan populasi dan konsumsi yang berlebihan.

Sekolah Hijau menumbuhkan jiwa yang sehat dan ulat (resiliensi)

Dengan pembiasaan-pembiasaan dan pemberian wawasan lingkungan yang menarik dan fun di sekolah, misalnya melalui majalah dinding yang dikelola komunitas Siswa Pecinta Alam (Sispala-community based), kegiatan-kegiatan kemah bakti, permainan EcoFunPoly (monopoly versi hijau), kompetisi-kompetisi kebun dan kebersihan antar kelas, pelatihan composting sederhana dan aplikatif dengan praktik nyata, diharapkan dapat memunculkan sikap dan jiwa bertanggung jawab.

Rasa kepemilikan terhadap lingkungan yang asri juga akan berkembang. Siswa menjadi punya daya pikir yang futuris dan visioner, tidak takut mencoba kemandirian energi dengan opsi terbarukan seperti tenaga surya. Ditambah dengan juga berjiwa entrepreneur, minimalis serta dibekali dengan skill sets yang bermuara pada kemandirian dan sikap ulet, dan memiliki daya lenting. Yang akan bangkit beridiri jika ditempa kesulitan dan musibah (resiliensi).

Banyak orang juga berpikir apakah memang semua itu harus dilakukan sekarang?. Apakah akan lebih ekonomis? Bukankan lebih logis jika kita menggunakan bahan bakar yang paling murah terlebih dahulu hingga habis, baru kemudian beralih pada bahan bakar yang lebih ramah lingkungan?. Bukankan PV Cells (sel solar photovoltaic) juga harganya mahal karena diambil dari bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dengan biaya estraksi dari alam yang tidak murah sehingga wajar harganya mahal? Bukankah semuanya jatuhnya sama saja?

Allah dalam surat At-Taubah 105, berfirman وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ

“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu..”

Poin besarnya adalah bukan pada hasilnya. Namun pada upaya kita yang akan dilihat oleh Allah, para rasul dan orang mukmin dalam upaya kita memelihara bumi Allah ini. Solar-cell, kemandirian energi dan pengelolaan limbah menjadi energi (misalanya biogas), menurut penulis, adalah harga yang pantas untuk dibayar di awal untuk kepentingan pendidikan dan pengenalan opsi-opsi ramah lingkungan kepada generasi muda. Lebih penting lagi, ini adalah tugas rabbaniyah yang dibebankan pada manusia yang harus juga mencontoh dan belajar dari sifat-sifat profetis dari utusan-utusan terbaik Allah.

Sesuai pepatah Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, bukan disesuikan dengan zaman mu.” Dalam perkataan itu tentu saja terdapat nafas berkemajuan yang juga logis jika dipikul dan dikerjakan bersama. Kembali lagi karena masalah lingkungan, pencemaran, over harvesting yang berangkat dari konsumsi berlebihan, dan masalah sampah adalah masalah bersama yang harus diselesaikan dari sumbernya sedini mungkin.

Dengan penataan lingkungan sekolah yang mempertimbangkan biophilic (keseimbangan penataan dalam ruangan dan luar ruangan), detil-detil dari pencahayaan, pemilihan warna, sirkulasi udara dan PHBS, akan menyokong keberlangsungan pendidikan yang kondusif. Tidak harus mewah fasilitas gedungnya. Namun, jika didesain dengan baik, bambu sebagai bahan utama bangunan pun akan menghasilkan kesan nyaman (cozy) dan mewah di saat yang bersamaan.

Sehingganya, masalah learning loss (dalam tulisan di The Conversation sebelumya) dan kekhawatiran tertinggalnya pendidikan Indonesia dari saingan negara di pasar global dapat dibantu obati dari kombinasi penataan lingkungan sekolah, juga penataan ruang digital untuk dikombinasikan dengan fisiknya yang baik. Hal ini seyogyanya dapat memicu akselerasi dan peningkatan kualitas dan pengalaman belajar peserta didik kita kearah yang gemilang dan membahagiakan. 

 Wallahu a’lam Bish-shawaab..

DCIM101MEDIADJI_0853.JPG

Berita Terkait